Sabtu, 26 Desember 2015

Kasus Whistle Blowing di Indonesia



Whistleblower Kasus Solar PT Ganda Sari Cari Keadilan 

TANJUNGPINANG (HK)- Menjadi "whistleblower" dalam kasus dugaan penggelapan solar bersubsidi di Bintan bukanlah pekerjaan yang ringan, apalagi pemilik perusahaan yang tersangkut, cukup terkenal di Kepulauan Riau. 

Mar adalah mantan karyawan PT Gandasari Tetra Mandiri dan kini menyatakan siap membongkar kasus dugaan penyelewengan ribuan ton solar bersubsidi yang dilakukan perusahaannya.

"Whistleblower" per definisi adalah seseorang yang melaporkan perbuatan yang berindikasi tindak pidana korupsi di dalam organisasi tempat yang bersangkutan bekerja, dan memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana tersebut.

Mar mulai menyuarakan pelanggaran yang dilakukan PT Gandasari setelah polisi menyita enam tanki dan kapal Aditya 01 milik AW, bos Gandasari Tetra Mandiri.

"Saya tahu, yang saya lawan ini bukan pengusaha kecil. Tetapi saya yakin keadilan tidak melihat harta yang dimiliki seseorang, karena di mata hukum semuanya sama," kata Mar di Rutan Tanjungpinang, Selasa (16/10) lalu.
Perlawanan Mar terhadap AW mulai terjadi 6 Agustus 2012. Saat itu, AW mengeluarkan surat menolak pembelian solar bersubsidi sebesar Rp167 juta yang dilakukannya.

Sehari kemudian, PT Gandasari Tetra Mandiri yang diduga tidak memiliki izin penyimpanan, pengangkutan, pembelian dan penjualan solar itu, melaporkan dirinya ke Polsek Tanjungpinang Timur.

Mar pun langsung ditangkap, dan diperiksa selama sehari sebelum ditahan di Mapolsek Tanjungpinang Timur. Proses hukum kini mengalir di Pengadilan Negeri Tanjungpinang, namun sidang belum dijadwalkan.

Bagi Mar, perusahaan itu telah mengkriminalisasi dirinya, karena uang tersebut berdasarkan perintah AW telah digunakan untuk membeli solar bersubsidi sebanyak 75 ton. Solar itu pun sudah digunakan sebagai bahan bakar kapal Calvin 27 dan Aditya 58 untuk mengangkut alat pengeruk batu bauksit ke Konolodale, Sulawesi Tengah.

Tetapi Mar dipaksa untuk mengaku kepada penyidik bahwa uang sebesar Rp167 juta itu digunakan untuk berfoya-foya. 

"Setelah mengeluarkan surat penolakan, PT Gandasari membeli solar bersubsidi sebanyak 30 ton," katanya  didampingi Herman, pengacaranya.
Solar yang dibeli Mar berasal dari agen penyalur solar subsidi, oknum polisi dan oknum TNI. Sebenarnya, kata dia, solar itu untuk kepentingan nelayan, bukan untuk industri.

"Itu menjadi penyebab nelayan tidak melaut karena kesulitan mendapatkan solar," ujarnya yang mulai bekerja di PT Gandasari Tetra Mandiri pada 14 Agustus 2011.
Kasus penggelapan solar bersubsidi itu mengawali "peperangan" Mar dengan AW. Kesempatan untuk membalas perbuatan AW berstatus sebagai tersangka setelah polisi mengungkap dan menyita enam bunker dan kapal Aditya 01 di Sei Enam, Bintan, Kepulauan Riau (Kepri).

Mar pun siap menjadi tersangka dalam kasus penyelewengan solar bersubsidi yang dilakukan PT Gandasari Tetra Mandiri. Namun ia minta AW dan pihak lain yang terlibat dalam kasus itu mendapat ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya.
"Saya siap membeberkan seluruh pelanggaran yang dilakukan perusahaan itu, tetapi saya minta jaminan keamanan selama ditahan," katanya.

Mar mengaku mendapat intimidasi sejak ditahan di Polsek Tanjungpinang Timur. Ia diminta mengaku menggunakan uang PT Gandasari Tetra Mandiri untuk foya-foya.     

"Uang itu sudah digunakan untuk membeli solar, bukan untuk foya-foya," kata Mar.
Selain itu, kata dia, Mar yang merupakan saksi kunci dalam kasus penyelewengan solar yang diduga dilakukan PT Gandasari Tetra Mandiri diminta untuk tidak memberikan keterangan yang terlalu dalam. Padahal keterangannya telah menyeret sejumlah pihak yang terlibat dalam kasus itu.

"Saya merupakan orang kepercayaan AW, bos PT Gandasari, yang ditugaskan untuk membeli solar dari agen penyaluran solar subsidi (APMS) di Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan," ungkap Mar.

Mar mengatakan, perdagangan solar bersubsidi untuk kepentingan industri bukan hanya dilakukan oleh antara perusahaan, melainkan juga oknum polisi dan TNI AL. Solar dari APMS tidak didistribusikan untuk kepentingan nelayan, melainkan "kencing" di tempat tertentu dan dijual kepada PT Gandasari.

"Saya sudah berulang kali diperintahkan oleh AW untuk membeli solar bersubsidi tersebut," katanya.

Sedangkan kuota untuk masing-masing APMS yang bekerja sama dengan PT Gandasari menggunakan jasa Tr, yang selalu berhubungan dengan pihak PT Pertamina. "Delivery order" dibuat oleh TR, kemudian diserahkan kepada PT Pertamina.

Penyelewengan solar bersubsidi itu menyebabkan nelayan tidak dapat melaut lantaran kesulitan mendapatkan solar.

"Masing-masing APMS mendapat jatah rata-rata 5 ton. Tetapi saya tidak tahu apakah ini melibatkan oknum di Pertamina atau tidak," katanya.

Mar menambahkan, PT Gandasari membeli solar itu dengan harga Rp6.200-Rp6.700/liter. Padahal harga solar subsidi untuk nelayan Rp4.500/liter, sedangkan solar untuk industri yang ditetapkan Pertamina sebesar Rp11.500/liter.

Nama perusahaan itu hanya digunakan untuk membeli solar bersubsidi, sedangkan penjualan solar menggunakan nama perusahaan lainnya yaitu PT Gandasari Shiping Line.

Kejahatan Luar Biasa
Pengamat ekonomi Provinsi Kepri, Winata Wira berpendapat, penggelapan solar yang diduga disubsidi oleh pemerintah tidak hanya sebatas pelanggaran pidana biasa, melainkan kejahatan yang luar biasa.

"Ini kejahatan luar biasa jadi Polri harus didorong untuk berani bertindak maksimal, karena harus ada efek jera terhadap pelaku. Dan bukan tidak mungkin temuan ini memiliki efek domino terhadap pelaku lain yang bertindak serupa," ungkap Wira yang juga dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang, kemarin.

Penggelapan solar bersubsidi kata Wira tidak hanya merugikan negara, melainkan juga "memiskinkan" nelayan di Kepri. Nelayan tidak dapat melaut lantaran tidak mendapatkan solar yang murah untuk menghidupkan mesin pompong.

"Kasus solar bersubsidi ini bukan pertama kali terjadi di Kepri," katanya.

Upaya pengusutan kasus penyalahgunaan dan penyelewengan distribusi BBM subsidi berupa solar sebagaimana yang ditemukan oleh aparat hukum di Kepri belakangan ini seharusnya dapat menggunakan standar maksimal. Keseriusan aparat kepolisian lanjut Wira tidak cukup hanya sebatas komitmen lisan saja, namun diharapkan dapat menggunakan kewenangannya secara luas dengan memungkinkan diterapkannya UU Tipikor selain UU Migas.

"Seingat kami, Kapolda Kepri sudah pernah menyatakan indikasi kerugian negara yang sangat besar akibat kasus ini. Itu artinya, Polri tidak perlu ragu lagi untuk menggunakan juga UU Tipikor sebagai bentuk keseriusan dalam pengusutan kasus ini," ujarnya.

Menurut dia, penggunaan UU Tipikor juga dapat membuka akses yang luas untuk menjerat kemungkinan terlibatnya oknum pelaku dari unsur aparatur penyelenggara negara. UU Migas berpotensi hanya menjerat pelaku dari pihak swasta saja ditambah ancaman pidana pada UU Migas relatif lebih ringan daripada UU Tipikor.

Yang tidak kalah penting, kata dia, selain tuntutan standar maksimal terhadap upaya pengusutan oleh Polri, semestinya publik dapat menyaksikan adanya "good will" dari sejumlah pihak yang dapat dikait-kaitkan dengan kewenangan dalam pengaturan penyelenggaraan distribusi BBM bersubsidi sehingga kasus demikian tidak sampai terjadi.

Tetapi sampai hari ini belum didengar apakah ada tindakan internal organisasi atau instansi yang sifatnya displin internal. Atau pun atau paling tidak tindakan evaluasi menyangkut tanggung jawab dan wewenang pembinaan dan pengawasan terhadap penyaluran BBM subsidi baik seperti BPH Migas, Pertamina maupun instansi non departemen yang anggotanya diduga menjadi oknum yang ikut terlibat.

"Nalar publik cenderung yakin bahwa ini bukan kejahatan yang dilakukan oleh koorporasi semata," katanya.

Menurut dia, gerakan "civil society" harus terus diperkuat untuk mengawal pengusutan kasus ini hingga tuntas.

Penghargaan dari salah satu LSM di Kepri kepada media cetak beberapa waktu yang lalu patut diapresiasi dalam semangat membangun kekuatan konsolidasi masyarakat agar kasus ini dapat diusut secara maksimal dan tuntas.

"Ini juga jadi momen konsolidasi pencitraan Polri, tapi pemantauan dan pengawasan oleh masyarakat terhadap pengusutan kasus ini tidak boleh berhenti. Bila perlu konsolidasi gerakan masyarakat sipil dimaksimalkan tidak hanya di tataran media dan LSM, melainkan juga bisa ke kampus-kampus dan masyarakat secara luas," ungkapnya.

Karena itu, kata dia, untuk memberantas penggelapan solar bersubsidi dibutuhkan keberanian pihak kepolisian untuk membuka akses pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelakunya, sehingga tidak hanya sebatas dikenakan pada pelanggaran UU Migas melainkan juga UU Pemberantasan Korupsi.

"Penyediaan BBM subsidi berkaitan dengan beban keuangan negara yang mengalami defisit tiap tahun karena harus membiayai belanja subsidi yang tidak kecil," katanya.

Tersangka
Sebelumnya, Polres Tanjungpinang menetapkan  Bos PT Gandasari Petra Mandiri, Andi Wibowo sebagai tersangka dugaan kasus penimbunan solar di lokasi tambang Seinam, Kijang, Kabupaten Bintan, Kepri. Penetapan ini setelah polisi melakukan pemeriksaan saksi-saksi.

Selain saksi, penetapan tersangka ini juga berdasakan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dikirim polisi ke Kejari Tanjungpinang, Selasa (2/10) lalu. Surat itu bernomor SPDP/58/X/2012/Reskrim atas nama Andi Wibowo dan kawan-kawan.

PT Gandasari merupakan grup perusahaan yang bergerak di beberapa bidang usaha dan jasa antara lain sektor pertambangan, bongkar muat, agen pengiriman, pemilik kapal, transportasi  dan tim balap motor. Dalam situs resmi perusahaaan ini tertulis mereka punya slogan Do Better dan Melayani Lebih Baik.

Grup tersebut memiliki sejumlah perusahaan antara lain Gandasari Resources, Gandasari Aditya, Gandasari Shipping Line, Gandasari Racing Team. Gandasari Resources terlibat dalam pertambangan bauksit di Bintan dan pertambangan lainnya.Dalam situs ini juga diklaim hasil tambang telah diekspor ke negara lain seperti China.

Andi Wibowo Komisaris PT Gandasari yang saat ini tersandung kasus dugaan penimbunan BBM Solar di Seinam Bintan ternyata mempunyai hobi balapan, bukan sekedar hobi ia bahkan sering terjun langsung diarena balap.

Andy Wibowo, pengusaha muda yang berusai 22 tahun ini dikenal dikalangan dunia balap sebagai pemodal Gandasari Racing  Team (GRT) yang bermain di IndoPrix dan MotoPrix. Tim ini bahkan diperkuat pembalap Nasional Irwan Ardiansyah. Irwan juga bertindak selaku manajer GRT, termasuk GRT garuk tanah alias motocross.

Seperti dilansir situs ottosport pada 5 Mei 2012 lalu di Sentul Kecil, Andy Wibowo terlihat menggunakan wearpack dan menggeber motor balap disirkuit tersebut.
Ia mengaku sangat mencintai balap motor yang merupakan salah satu hobinya yang tidak dapat ditinggalkan.Tak hanya puas memiliki tim motocross Gandasari Pertamina INK IRC Racing Team yang sudah berjalan sejak tahun 2010 lalu, Andy Wibowo, sang owner, juga bikin tim baru, yakni Gandasari Nissin Pertamina Enduro 4T INK Racing Team. Tim ini khusus turun di Indoprix dengan tunggangan Yamaha. Disamping itu ia juga menggawangi tim balap turing dengan mengandalkan mobil Honda All New Jazz.

Sementara itu, Polda Kepri hingga kini belum menetapkan satu pun tersangka kasus penyelewengan solar oleh PT Gandasari sejak penanganan kasus tersebut diambil alih dari Polres Tanjungpinang.

Dalam kasus ini sebelumnya Polres Tanjungpinang telah menetapkan bos PT Gandasari, Agus Wibowo jadi tersangka. 

Meski belum ada tersangka yang ditetapkan Polda, namun Kapolda Kepri, Brigjen Pol Yotje Mende saat ditanya wartawan siapa yang berpeluang menjadi tersangka, ia mengaku Direktur Utama  PT Gandasari yang paling bertanggung jawab. Namun pihaknya tidak mau ceroboh dalam menetapkan tersangka secara buru-buru.

"Dirut PT Ganda Sari yang paling bertanggung jawab. Kita tak mau buru-buru. Insya Allah akan ada tersangka," kata Kapolda saat ditemui di sela-sela acara sosialisasi MoU Dirjen Pajak dengan Polri di  Planet Holiday Hotel, Batam, Selasa (16/10).

Untuk mengarah adanya tersangka, lanjut Kapolda, saat ini sudah 18 saksi yang dimintai keterangan, di antaranya dari Pertamina, perusahaan sendiri dan saksi ahli serta sejumlah pihak yang dianggap mengetahui kasus tersebut.

"Selain saksi dari 4 perusahaan, kita sudah panggil saksi dari pihak lain," tambahnya.

Kapolda menegaskan pihaknya masih terus memanggil sejumlah pihak untuk dimintai keterangan. "Kami masih terus panggil saksi, karena memang tidak boleh buru-buru," katanya.

Ia  berjanji  tetap memproses secara hukum semua pihak yang terlibat dalam kasus tersebut. Namun lanjutnya, ia dan anggotanya tak mau takabur.

"Siapapun yang terlibat, akan kita proses secara hukum," ungkapnya.

Gubernur Kepri Muhammad Sani mengatakan penegak hukum harus dapat membuat jera pelaku yang menyelewengkan solar.   

"Hukum pelakunya sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga dapat menimbulkan efek jera dan tidak terulang lagi di kemudian hari," katanya.

Ia berharap kasus penjualan solar untuk kepentingan industri yang diduga dilakukan PT Gandasari milik AW dituntaskan hingga ke akar-akarnya. Kasus itu diharapkan tidak muncul lagi di kemudian hari.

"Ini kasus yang luar biasa, yang telah merugikan negara dan masyarakat. Kami dari dahulu inginkan kasus ini tidak terjadi," ujarnya. (ant/cw56/cw57)

Evaluasi:

whistleblowing merupakan pengungkapan praktik illegal, tidak bermoral atau melanggar hukum yang dilakukan oleh anggota organisasi (baik mantan pegawai atau yang masih bekerja) yang terjadi di dalam organisasi tempat mereka bekerja. Pengungkapan dilakukan kepada seseorang atau organisasi lain sehingga memungkinkan dilakukan suatu tindakan. Berdasarkan pihak yang dilapori, whistleblowing dibagi menjadi internal whistleblowing dan eksternal whistleblowing. Internal whistleblowing adalah whistleblowing kepada pihak di dalam organisasi atau melalui saluran yang disediakan organisasi. Sedangkan eksternal whistleblowing adalah pengungkapan kepada pihak di luar organisasi.

Berdasarkan kasus diatas, MR memberanikan diri untuk membongkar dugaan penyelewengan ribuan ton solar bersubsidi yang dilakukan perusahaannya. Hal ini pun terjadi setelah dirinya tertangkap dan MR merasa perusahaan telah mengkriminalisasi dirinya. MR merasa bahwa apa yang dilakukannya berdasarkan yang diperintahkan oleh perusahaan yaitu untuk membeli solar bersubsidi sebanyak 75 ton, namun MR dipaksa untuk mengaku kepada penyidik bahwa uang sebesar Rp 167 juta digunakannya untuk berfoya-foya. Dari sini sudah terlihat bahwa keadilan itu harusnya di tegakkan dengan benar adanya. Menurut saya, ketika suatu hal yang SALAH maka harus dikatakan SALAH, dan sesuatu hal yang BENAR harus dikatakan BENAR bukan sebaliknya. Hukum itu harus berjalan dengan benar tidak memandang siapa yang telah melakukan kesalahan tersebut, entah orang berada ataupun sebaliknya. Ketika seseorang telah melanggar aturan yang ada atau telah bertindak tidak sesuai dengan hukum maka seharusnya mendapatkan hukum yang sesuai dengan apa yang telah dilakukannya. Bukan berati orang yang melakukan pelanggaran malah dapat menindas orang yang berada di bawahnya. Kasus seperti yang diatas harus dikupas tuntas oleh petugas yang berwenang sehingga kebenaran dan keadilan yang ada di Negara kita dapat berjalan dengan benar apa adanya. Mohon maaf apabila tanggapan saya mengenai kasus diatas ada yang kurang berkenan. Terima kasih.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar