Selasa, 17 Desember 2013

Credit Union



Credit Union atau koperasi kredit adalah sebuah lembaga yang bergerak dibidang simpan pinjam dimana dikelola oleh anggotanya sendiri. Credit Union sangat melindungi anggota dalam simpanannya dan ketidakmampuan mengembalikan pinjaman kalau meninggal dunia sewaktu-waktu, dengan cara simpanan dan pinjaman dilindungi dengan semacam asuransi yang disebut Dana Perlindungan Bersama (DAPERMA). Hal ini guna menghindari agar anggota yang meninggal dunia tidak membebani utang pada ahli waris. 
Credit Union di Indonesia (dan bahkan diseluruh dunia) perlu patuh hukum, maka Kopdit harus berbadan hukum sesuai UU No 25/1992 tentang Koperasi. Dengan demikian, CU bukanlah usaha yang amatiran tetapi usaha yang tertib hukum dan patuh hukum. Hal ini mencerminkan Budaya yang tinggi bagi Credit Union. Para founding father’s Credit Union ditahun 1900 sudah mencanangkan bahwa Credit Ubion harus patuh hukum dan menghormati hukum secara konsekwen, maka dari itu Credit Union selalu memiliki nomer Badan Hukum. Selain itu Kopditpun harus patuh membayar Pajak-pajak bagi negara, umpama Pajak Penghasilan pribadi maupun Badan (PPh ps 21 dan 23 dan 25.
Credit Union, yang memiliki AD-ART-Poljak dan Aturan-aturan, perlu selalu tumbuh layaknya usaha yang sehat. Pertumbuhan kekayaan setiap tahun harus diatas 15% - 20%, sedangkan pertumbuhan anggota perlu diatas 12% tiap tahun. Semakin lama, Credit Union di Indonesia akan semakin bertumbuh besar, sehat, kuat dan profesional, karena mengandalkan : pendidikan bersinambungan yang setara Internasional, lalu swadaya modal, dan siap selalu solidaritas. Anggota Credit Union se-Indonesia 1,534 juta (dari Sabang sampai Merauke), dan total kekayaannya Rp 9,650 Trilyun, atau rata-rata 1 anggota Credit Union memiliki Tabungan senilai Rp 6,29 juta. Uang senilai Rp 9,65 Trilyun diatas adalah Tabungan murni anggota, bukan meminjam kepada pihak ketiga.
Sedikit Sejarah Mengenai Credit Union
Credit Union dicetuskan pertama kali oleh Raiffeisen untuk menjawab kondisi masyarakat di Jerman pada waktu itu yang sedang mengalami krisis ekonomi. Secara ideal, Credit Union adalah lembaga keuangan berbasis anggota yang bertujuan mulia untuk memberdayakan masyarakat (anggota) untuk meningkatkan kesejahteraan dan martabatnya, melalui pelayanan simpan dan pinjam (bukan pinjam untuk simpan).
Ide tersebut tidak serta merta muncul begitu saja, namun tercipta setelah mengalami 2 kali kegagalan terhadap ide – ide terdahulu. Seperti yang kita ketahui bersama, pertama kali Raiffeisen melakukan upaya pengentasan kemiskinan dengan membagi – bagikan uang kepada orang – orang miskin yang ternyata gagal membawa perubahan seperti yang diinginkannya, begitu juga dengan ide keduanya dimana ia membagi – bagikan roti kepada orang – orang miskin yang tidak membawa dampak positif.
Dari kegagalan tersebut sebenarnya Raiffeisen ingin menghimbau kepada masyarakat (siapapun mereka yang perduli terhadap kaum miskin) agar tidak memberikan bantuan berupa materi (uang dan roti dalam pengalaman nyatanya) tapi berilah bantuan yang bersifat mendorong pemberdayaan manusia seutuhnya, sehingga manusia berdaya guna dan berdaya cipta untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya sendiri.


Semua stake holder dan aktivis Gerakan Credit Union pasti telah terlebih dahulu menyadari bahwa “mengurus” Credit Union adalah pengelolaan usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan anggota. Namun, harus diakui terkadang sulit membedakan dengan teliti mana yang menjadi kebutuhan dan mana yang jadi keinginan anggota. Akhirnya banyak Credit Union yang terjebak pada “hanya” pelayanan keuangan dan melupakan upaya pemberdayaan anggota untuk mampu mengeluarkan dirinya dari jurang kemiskinan, sehingga banyak dijumpai kredit lalai yang tidak sedikit jumlahnya sangat besar dan mengancam keberadaan Credit Union baik masing – masing maupun sebagai gerakan.


Microfinance



Microfinance merupakan jasa di bidang keuangan untuk membantu masyarakat yang berpenghasilan rendah untuk membantu meningkatkan pendapatan. Di Indonesia, microfinance dikenal dengan nama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). UMKM telah diatur secara hukum melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Pengertian dan kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yaitu :

      ·         Usaha Mikro
Usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

      ·         Usaha Kecil
Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

      ·         Usaha Menengah
Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Ketersediaan sumber daya finansial yang cukup pada saat yang tepat merupakan salah satu faktor penting bagi individu atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup.. Akan tetapi kondisi ideal tersebut hampir tidak mungkin terjadi pada masyarakat miskin karena terbatasnya resource sehingga memerlukan adanya intervensi keuangan untuk menutup gap yang ada. Ada  beberapa pola intervensi microfinance, misalnya dalam pembiyaan yakni:

1. Income smoothing
Menutup kebutuhan keuangan karena adanya gap antara pendapatan dan pengeluaran karena faktor musim atau siklus upahan. Umumnya petani membutuhkan dana pada masa tanam untuk membeli sarana produksi dan memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga. Hal yang sama juga terjadi pada para pekerja atau buruh yang menerima upah secara berkala. 

2. Cash flow injection
Mengatasi aliran kas (terjadi kesenjangan antara aktiva lancar dan pasiva lancar) yang terutama bagi usaha mikro yang menerapkan sistem pembayaran kredit atau karena ada kebutuhan strategis misalnya untuk memenuhi kontrak bisnis yang bersifat sesaat. 

3. Emergency relief
Merupakan asistensi keuangan untuk mengatasi kebutuhan mendadak karena adanya musibah keluarga, sakit dan bencana alam, kehilangan pekerjaan, biaya pendidikan dan kebutuhan jangka pendek lainnya karena umumnya masyarakat miskin tidak memiliki tabungan atau asuransi. 

4. Asset building
Menyediakan dana yang bersifat jangka panjang untuk membeli aktiva tetap (peralatan rumah tangga), kendaraan, hewan ternak, properti, dan lain-lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi atau dapat dikonversikan kembali menjadi uang. 

   Semiformal microfinance adalah lembaga keuangan yang diatur oleh pemerintah melalui PP atau Perda. Bentuk dan sistem operasional kelompok ini cukup bervariasi seperti Perum Pegadaian, Badan Kredit Desa (BKD), Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dengan konsep koperasi, Lembaga Dana Dan Kredit Pedesaan (LDKP), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Kecamatan (BKK) dan Baitul Maal Wa’atamwil (BMT) dan LKM yang terdaftar lainnya. Pasar utama semiformal microfinance adalah penduduk miskin dengan kategori kelompok II dan III serta sebagian kecil yang masuk dalam kelompok IV. Produk keuangan yang ditawarkan adalah kredit dan simpanan yang berbasis pada keanggotaan, namun khusus Pegadaian menawarkan pinjaman dengan sistem gadai. Sesuai dengan penggolongannya, sebagian besar platform operasional lembaga ini bersifat semiformal, artinya mengadopsi kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh pemerintah, namun dalam membangun hubungan dengan nasabah atau anggotanya cenderung menggunakan cara-cara yang bersifat informal. 

   Informal microfinance berbagai macam bentuk kelembagaan dan kepemilikan dan metode yang digunakan. Hal ini dimungkinkan karena tidak ada regulasi khusus yang mengaturnya, mencakup Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), kelompok arisan, rentenir, dan lain-lain. Keunikan dari informal microfinance adalah menyediakan fasilitas kredit (cash atau non cash) yang didasarkan pada hubungan individu, kelompok dan jalinan bisnis. Untuk lembaga microfinance yang berbentuk LSM, pemberiaan kredit juga diikuti dengan program pemberdayaan dan asistensi non keuangan lainnya.
 
Sumber : http://www.financeindonesia.org/showthread.php?1432-Pengertian-Dasar-Tentang-Microfinance-atau-Usaha-Mikro-Kecil-dan-Menengah-%28UMKM%29

http://mikrobanker.wordpress.com/2009/01/11/apa-mengapa-dan-siapa-microfinance/


Jumat, 25 Oktober 2013

Mengapa Koperasi di Indonesia Sulit Berkembang?



Sistem administrasi koperasi di Indonesia masih tergolong buruk sehingga membuat  koperasi sulit didongkrak untuk menjadi bisnis berskala besar. "Salah satu yang menjadi penghalang koperasi menjadi bisnis skala besar secara internal adalah pada kualitas sumber daya manusia, pelaksanaan prinsip koperasi, dan sistem administrasi dan bisnis yang masih rendah," kata Asisten Deputi Urusan Asuransi dan Jasa Keuangan Kementerian Koperasi dan UKM Toto Sugiyono.  Administrasi koperasi yang belum tertata dengan baik, menurut dia, sudah saatnya diakhiri melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia pengelola koperasi. Jika administrasi koperasi dilakukan secara profesional, ia berpendapat, bukan tidak mungkin akan lebih banyak jumlah koperasi di Indonesia yang bisa masuk dalam 300 The Global Cooperatives versi ICA (International Cooperative Alliance). "Sayangnya, kendala koperasi di Indonesia bukan hanya dari internal tapi juga dari faktor eksternalnya," katanya.
Ia menambahkan secara eksternal, kemampuan koperasi di Indonesia masih tergolong rendah dalam memanfaatkan peluang. Meski begitu, sudah ada beberapa koperasi yang memenuhi target untuk menjadi Koperasi Skala Besar (KSB) baik dari sisi aset, jumlah anggota, maupun volume usaha mereka di antaranya Kospin Jasa Pekalongan dan KSP Artha Prima di Jawa Tengah. Kospin Jasa, misalnya, sampai saat ini telah memiliki anggota lebih dari 8.000 orang seluruh Indonesia dengan jumlah aset mencapai Rp12,5 triliun. 
Toto berharap ke depan akan ada lebih banyak koperasi serupa berkembang di Indonesia sehingga peran koperasi sebagai pemberdaya ekonomi masyarakat semakin besar dan terasa. "Pemerintah siap memberikan akses informasi dan fasilitasi dalam rangka peningkatan kapasitas," katanya. Ia juga berjanji untuk meningkatkan pengawasan simpan-pinjam dan siap memberikan jalan keluar persoalan yang dihadapi koperasi. "Kita upayakan agar koperasi semakin meningkatkan profesionalisme dimulai dengan pembenahan administrasi bisnis yang berstandar bisnis," katanya.
Selain itu, penyebab koperasi kurang berkembang di Indonesia diantaranya yaitu :
1.     Permasalahan Internal
·    Para anggota Koperasi yang kurang dalam penguasaaan ilmu pengetahuan dan teknologi ,dan kemampuan menejerial.
·  Alat perlengkapan organisasi koperasi belum sepenuhnya berfungsi dengan baik.
·  Dalam pelaksanaan usaha, koperasi masih belum sepenuhnya mampu mengembangkan kegiatan di berbagai sektor perekonomian karena belum memiliki kemampuan memanfaatkan kesempatan usaha yang tersedia.
·   Belum sepenuhnya tercipta jaringan mata rantai tata niaga yang efektif dan efisien, baik dalam pemasaran hasil produksi anggotanya maupun dalam distribusi bahan kebutuhan pokok para anggotanya.
·      Terbatasnya modal yang tersedia khususnya dalam bentuk kredit dengan persyaratan lunak untuk mengembangkan usaha.
·   Keterbatasan jumlah dan jenis sarana usaha yang dimiliki koperasi, dan kemampuan para pengelola koperasi dalam mengelola sarana usaha yang telah dimiliki.
·   Kebanyakan pengurus koperasi telah lanjut usia sehingga kapasitasnya terbatas
2.     Permasalahan Eksternal:
·  Bertambahnya persaingan dari badan usaha yang lain yang secara bebas memasuki bidang usaha yang sedang ditangani oleh koperasi
· Kurang adanya keterpaduan dan konsistensi antara program pengembangan koperasi dengan program pengembangan sub-sektor lain, sehingga program pengembangan sub-sektor koperasi seolah-olah berjalan sendiri, tanpa dukungan dan partisipasi dari program pengembangan sektor lainnya.
· Dirasakan adanya praktek dunia usaha yang mengesampingkan semangat usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan gotong-royong.
·   Masih adanya sebagian besar masyarakat yang belum memahami dan menghayati pentingnya berkoperasi sebagai satu pilihan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.
· Tingkat harga yang selalu berubah (naik) sehingga pendapatan penjualan sekarang tidak dapat dimanfaatkan untuk meneruskan usaha, justru menciutkan usaha.
·   Sebagai organisasi yang membawa unsur pembaruan, koperasi sering membawa nilai-nilai baru yang kadang-kadang kurang sesuai dengan nilai yang dianut oleh masyarakat yang lemah dan miskin terutama yang berada di pedesaan.
·        Belum terciptanya pola dan bentuk-bentuk kerjasama yang serasi, baik antar koperasi secara horizontal dan vertikal maupun kerjasama antara koperasi dengan BUMN dan Swasta.